Oleh:
M. Zulfa Aulia
(Editor Petitum.id)
JAKARTA, beritadepan.com – Syahdan, pandemi Covid 19 membawa dampak pada banyak penutupan berbagai hal yang sebelumnya (harus) terbuka. Sekolah, kantor, tempat wisata, rumah ibadah, hingga akses jalan kampung dan kini juga kota, banyak yang ditutup. Kalaupun tidak ditutup ya dibatasi.
Intinya, arus perjumpaan dan masuk-keluar orang-barang kudu dikurangi. Agar penyebaran wabah tidak semakin meluas. Maka, frasa lock-down, dengan variasinya yang cukup menghibur seperti lock dong, dan terkadang justru menentang maksudnya semisal lock don’t, kini menjadi trending di masyarakat, terutama di pintu-pintu masuk perkampungan.
Tapi ternyata, di balik ketertutupan berbagai hal yang sebelumnya terbuka itu, juga dijumpai fenomena sebaliknya. Sesuatu yang sebelumnya tertutup kini malah menjadi terbuka. Terdengar aneh, bukan? Tapi itulah setidaknya yang terjadi dengan berbagai akses sumber informasi dan ilmu pengetahuan. Media-media penyedia informasi dan ilmu pengetahuan, yang dalam situasi normal hanya membolehkan akses bagi mereka yang melanggan, dan berarti membayar, semenjak mewabahnya Covid ini justru membukanya bagi siapa pun, termasuk yang tidak melanggannya. Fenomena ini unik, dan tulisan singkat ini bermaksud mencoba membacanya.
Beberapa Contoh
Di dalam negeri, Kompas dan Tempo adalah contoh media yang “membuka yang tertutup”. Kompas cetak melalui Kompas.id, dan Tempo Media Group (Koran Tempo, Majalah Tempo, dan Tempo English), sebelumnya hanya bisa diakses secara tertutup oleh mereka yang melanggan. Sekarang, saat terjadi pandemi Covid 19, keduanya membuka akses bagi siapa pun.
Di luar negeri, penerbit-penerbit besar juga membuka akses publikasinya: jurnal maupun buku. Cambridge University Press, Australian National University, Taylor and Francis, Elsevier, Springer, SAGE, dan juga perpustakaan digital JSTORE, memberi akses gratis pada ebook dan jurnalnya selama masa pandemi.
Keterbukaan akses atas sumber informasi dan ilmu pengetahuan ini jelas menjadi kabar gembira terutama bagi penstudi yang menempuh atau sedang menyelesaikan tugas belajar. Sebab, tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan di dalam negeri, terutama kampus, yang mau menginvestasikan dananya dalam nominal yang cukup besar untuk mendapatkan akses sumber-sumber ilmu pengetahuan tersebut. Memang ada, tapi itu hanya sebagian kecil kampus. Maka, ketika kabar akses gratis ini menyeruak, tentu menggembirakan. Bagi sebagian orang. Ya, sebagian orang. Orang-orang yang membutuhkannya.
Seberapa efektif, itu soal lain, bergantung sempat atau tidak, mau atau tidak, juga mendesak atau tidak. Yang penting, sekarang, aksesnya bisa dibuka siapa pun.
Akses Sumber Informasi dan Ilmu Pengetahuan
Harus diakui, akses terhadap sumber informasi dan ilmu pengetahuan selama ini tidaklah merata. Pada sumber-sumber informasi seperti koran dan majalah, memang bisa dan sangat banyak yang melanggannya secara individu. Tapi, untuk jurnal dan buku, pelanggan pada umumnya bukanlah individu, melainkan lembaga-lembaga tertentu saja, biasanya kampus. Maka, bagi penstudi di Indonesia, pilihan tempat studi akan menentukan bisa atau tidaknya mengakses buku dan jurnal-jurnal penting di luar negeri. Kalau sudah begitu, tempat studi berarti akan turut pula menentukan kualitas karya akademik yang dihasilkannya. Jadi, ini soal bisa atau tidaknya kita mengakses sumber informasi dan ilmu pengetahuan, yang pengaruhnya bisa ke mana-mana, sampai soal kualitas karya. Karena itu, ada benarnya juga jika ada yang mengatakan, penguasaan terhadap sumber informasi dan ilmu pengetahuan akan menentukan kualitas dan daya saing seseorang.
Kalau akses informasi dan ilmu pengetahuan adalah password bagi peningkatan kualitas dan daya saing individu, mengapa aksesnya tidak dibuka saja? Maunya kita sich iya. Tapi ini soal persaingan, juga bisnis. Dan, dalam persaingan, akan selalu ada pihak-pihak yang ingin menguasai, mendominasi, dan mengendalikan persaingan.
Dalam menjaga persaingan itu, isu hak cipta lalu digunakan sebagai senjatanya. Doktrinnya: siapa yang menciptakan, dia yang memiliki monopoli untuk menggunakan karya yang dihasilkannya. Orang lain hanya bisa turut menggunakannya juga jika diberi izin oleh si empunya. Dalam rumusan undang-undang, ia disebut hak eksklusif. Orang awam menyebutnya monopoli. Eksklusif atau monopoli ya sama saja, karena eksklusif berarti tertutup sehingga tidak terbuka atau inklusif, dan monopoli menunjukkan ada kontrol oleh orang atau pihak tertentu saja.
Para penerbit sendiri, apalagi perpustakaan, umumnya bukanlah pihak yang menghasilkan suatu karya sehingga disebut pencipta. Meskipun bisa saja, yaitu jika penerbit ini yang menginisiasi suatu karya dan menanggung (biasanya biaya) orang-orang yang menghasikannya.
Penerbit, atau publisher, umumnya hanyalah pihak yang diserahi, atau sangat mungkin juga meminta, suatu karya dari penulis. Penerbit dalam hal ini bukanlah pencipta. Penciptanya tetap-lah mereka yang menghasilkan suatu karya. Sebagai pihak yang diserahi karya untuk mengelolanya lebih lanjut, penerbit di sini disebut sebagai pemegang hak cipta.
Sebagai pemegang hak cipta, para penerbit ini, entah untuk jurnal atau buku, lalu mengontrol akses pembacaan dan penggandaannya. Pada umumnya, kontrol itu berupa akses tertutup, dalam arti mereka menutup aksesnya, kecuali bagi yang melanggannya. Tentu dengan syarat harus membayarnya. Memang tidak seluruhnya. Karena banyak juga penerbit yang menggunakan platform terbuka.
Pada jurnal misalnya, seperti yang hampir digunakan oleh seluruh jurnal terbitan Indonesia, menggunakan platform open journal system (OJS), yang harus membuka aksesnya bagi pembaca. Tapi untuk penerbit-penerbit bergengsi, di luar negeri, umumnya aksesnya harus membayar. Ini seperti memvalidasi hukum ekonomi, semakin membayar dan apalagi dengan harga tinggi, produk (karya) dianggap semakin bergengsi!
Lalu mengapa dalam situasi pandemi Covid 19 ini akses-akses terkontrol-tertutup itu menjadi dibuka? Apakah ini suatu bentuk kedermawanan dari penerbit? Ataukah agar karya-karya yang dikelolanya dapat dibaca secara lebih meluas? Tulisan ini tentu tidak punya kapasitas untuk memvalidasinya. Ini hanya sebuah pembacaan atas fenomena yang sedang terjadi.
Apakah ia bentuk kedermawanan penerbit atau agar karya-karya yang dikelolanya dapat dibaca secara lebih meluas, sebenarnya sama saja. Karena pada akhirnya karya-karya yang tertutup aksesnya menjadi terbuka.
Dalam situasi yang disebut kedermawanan, dan sebut saja dengan kedermawanan-akademik (academic-charity), maka hal ini nampaknya mengikuti pula pola-pola kedermawanan lainnya dalam masa pandemi ini. Banyak orang berpunya yang berbagi kepemilikannya kepada yang tidak berpunya. Ada yang membagi-bagi langsung dengan menemui orang-orang tidak berpunya, dan ada juga yang melalui penggalangan dana sosial. Tentu ini kabar baik, karena dengan begitu mereka yang tidak berpunya turut bisa merasakan kepemilikan, meski porsinya mungkin kecil. Yang repot itu kalau yang dibagi bukan persis miliknya namun membaginya dengan mengatasnamakan pribadi! Ah, ini terlalu politis.
Kedermawanan akademik, jika itu ada, memang sudah sepatutnya begitu. Sebab, suatu karya akademik itu dihasilkan untuk kebaikan-kebaikan masyarakat dan lingkungan. Ia akan berdampak kalau apa yang dianggap sebagai kebaikan-kebaikan masyarakat tersebut dapat dibaca secara meluas.
Dalam jangka panjang, kedermawanan akademik justru meningkatkan reputasi akademik penulis dan penerbitnya. Terlebih, dalam konteks hari ini reputasi itu diukur dengan sitasi. Bagaimana suatu karya akan bisa disitasi manakala akses pembacaannya saja tertutup. Maka, ujung-ujungnya, kedermawanan ini memberi dampak reputasi.
Situasi ini persis pada kedermawanan sosial dalam bentuk corporate social responsibility (CSR). Suatu perusahaan yang berderma sosial dan lingkungan, justru akan mendapatkan nilai tambah dari dermanya, umumnya dalam reputasinya. Sekalipun, kedermawanan sosial oleh perusahaan itu sebenarnya ya suatu kewajiban: mereka mengeksplorasi dan mengeksploitasi ekonomi di suatu masyarakat dan lingkungan tertentu kok tidak turut berkontribusi pada kehidupan sosial dan lingkungan sekitarnya, jelas kebangetan!
Jadi, sama saja. Derma akademik itu memang sudah seharusnya, kok. Begitu juga, derma sosial dalam rupa CSR juga sudah semestinya. Memang, dalam derma akademik, pihak yang menderma sepatutnya penulisnya. Hanya, karena isu hak cipta, penulis biasanya tidak punya kuasa untuk mendermanya, disebabkan sudah tidak lagi memiliki kontrol aksesnya. Kedermawanan itu kini menjadi dikontrol oleh penerbit sebagai pemegang hak cipta.
Demikianlah, pandemi Covid 19 telah menawarkan dan membuka kedermawanan baru dalam akses informasi dan ilmu pengetahuan. Kita barangkali bisa menyebutnya kedermawanan-akademik (academic-charity). Dalam kedermawanan akademik, akses informasi dan ilmu pengetahuan yang sebelumnya tertutup dengan berlindung pada hukum hak cipta, kini dibuka seluas-luasnya agar semua orang memiliki akses membacanya. Dan mumpung kedermawanan akademik sedang terbuka-bukanya, mari menikmati dan memanfaatkan derma pemberian dari penerbit-penerbit bereputasi itu dengan mengaksesnya, membacanya, dan memelajarinya. Karena di rumah saja, maka mengaksesnya, membacanya, dan memelajarinya ya di rumah saja. (afl)